KENDARI, tirtamedia.id – Ambisi Indonesia menjadi pusat industri kendaraan listrik (VE) di Asia Tenggara, masih menghadapi tantangan mendasar.
Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seperti insentif fiskal, pembangunan infrastruktur pengisian daya, dan program konversi kendaraan berbahan bakar fosil, tidak memuluskan optimisme tersebut..
Tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia mewujudkan ambisi ini adalah, harga tinggi, keterbatasn infrastruktur dan kepercayaan publik belum solid.
Saat ini konsumen masih menganggap mobil listrik itu mahal dan berisiko tinggi, utamanya biaya perawatan baterai mencapai 40% dari total harga kendaraan.
Kebijakan subsidi dan potongan pajak juga tidak mengubah persepsi ini, sehingga penetrasi pasar masih jauh dari target.
Kondisi ini terlihat dari data Kementerian Perhubungan per Agustus 2025, sekitar 150 ribu kendaraan listrik telah beroperasi di Indonesia. Angka ini menunjukkan pertumbuhan yang cepat, namun masih kecil jika dibandingkan dengan total populasi kendaraan nasional mencapai 150 juta unit.
Selain itu, pemerintah juga sedang berpacu dengan waktu mengejar pemenuhan target produksi 600 ribu unit EV roda empat per tahun pada 2030 mendatang. Ambisi ini untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasokan global.
Ambisi membangun ekosistem EV ini juga tidak cukup hanya pabrik dan tambang nikel, butuh strategi menyentuh aspek psikologi konsumen, mulai kepercayaan, keterjangkuan, dan kenyamanan jangka panjang.
Namun kehadiran VinFast produsen otomotif asal Vietnam yang terdaftar di Nasdaq dengan model terbarunya, VF 7, menjadi jawaban dari situasi ini.
VinFast, hadir di Indonesia memilih pendekatan berbeda dari kebanyakan pemain global yakni, tidak hadir sekadar menawarkan kendaraan, tapi juga menjual kepercayaan.
VinFast cukup bijak menyikapi perang harga global, mereka tidak mau terjebak dengan euforia pasar, justru fokus pada nilai jangka panjang.
Menurut CEO VinFast Indonesia, Kariyanto Hardjosoemarto, filosofinya sederhana, harga kompetitif bukan hanya soal satu produk, melainkan seluruh ekosistem yang memberikan nilai tambah berkelanjutan.
“Filosofi kami berpusat pada pelanggan,” ujar Kariyanto Hardjosoemarto.
Dia mengatakan, mereka ingin memastikan manfaat yang dirasakan konsumen tidak berhenti pada saat pembelian, tapi terus berlanjut sepanjang kepemilikan.
“Sebagai pelopor model langganan baterai di Indonesia, kami ingin menghadirkan solusi finansial yang fleksibel sekaligus menegaskan komitmen jangka panjang kami terhadap transisi menuju era ramah lingkungan,” katanya.
Kariyanto, mengungkapkan langkah konkret ini terlihat dari skema langganan baterai. Menurutnya, hal ini merupakan sebuah inovasi finansial yang mulai menarik perhatian pasar Indonesia.
Dengan skema ini, harga awal mobil listrik lebih rendah dan terjangkau konsumen. Sementara baterai disewa dengan biaya bulanan terjangkau Rp905 ribu untuk varian VF 7 Eco dan Rp1,03 juta untuk VF 7 Plus AWD.
Kariyanto, menyebut skema ini, juga mengalihkan risko perawatan ke produsen. VinFast menjamin baterai seumur hidup, termasuk penggantian gratis jika kapasitas turun di bawah 70%.
“Skema tersebut efektif menghapus salah satu hambatan terbesar dalam adopsi kendaraan listrik yakni kekhawatiran soal degradasi dan biaya penggantian baterai,” katanya.
VinFast, juga menawarkan kebijakan yang jarang ditemukan di industri otomotif yakni jaminan nilai jual kembali hingga 90% setelah enam bulan dan 70% setelah tiga tahun.
Pendekatan yang diambil VinFast ini, mampu memperkuat kepercayaan konsumen terhadap mobil listrik, bukan sekadar tren teknologi, tetapi sebagai investasi jangka panjang.
Model VF 7 menjadi simbol arah baru VinFast dari produksi ke ekosistem. Mobil ini dirancang Design Italia, Torino, mengusung konsep Asymmetric Aerospace, memadukan desain futuristik dan performa tangguh.
Varian Plus menawarkan tenaga 349 hp dengan sistem all-wheel drive dan jarak tempuh 471 km, sementara varian Eco lebih efisien untuk mobilitas perkotaan.
VinFast memproduksi mobil listrik tidak hanya meletakan perbedaan pada desain dan performa, namun pada ekosistem yang terintegrasi di baliknya yakni, pembaruan perangkat lunak over-the-air (OTA), jaringan pengisian daya V-GREEN gratis, serta layanan purna jual adaptif yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.
Hal ini merupakan arah baru transformasi kendaraan listrik bahwa, percepatan adopsi tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada desain pengalaman pengguna yang membangun rasa aman dan nilai berkelanjutan.
Strategi VinFast ini memang menjanjikan, namun tetap membutuhkan fondasi kebijakan yang kuat untuk percepatan adopsi EV di Indonesia.
Sebab saat ini, infrastruktur pengisian daya publik masih terbatas terutama luar pulau Jawa.
Koordinasi lintas kementerian dan kepastian investasi, juga menjadi kunci agar ekosistem ini tumbuh merata.
Dari semua itu, satu yang jelas. VinFast hadir menjadi model penting industri otomotif Indonesia, dengan strategi menggabungkan inovasi teknologi, model finansial adaptif, dan pendekatan sosial-ekonomi.
Selain itu, VinFast juga hadir bukan sekadar menjual mobil namun membangun ekosistem transformasi menuju mobilitas bersih lebih cepat dan inklusif.
Kini, Indonesia memiliki peluang langka bukan hanya menjadi pasar kendaraan listrik, tetapi juga pemain penting dalam menentukan arah masa depan transportasi berkelanjutan di kawasan.
Asdar
Redaksi







