Jakarta, tirtamedia.id – Rencana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menjadikan face recognition (pengenalan wajah) sebagai mekanisme utama verifikasi pendaftaran kartu SIM menuai kritik. Para pakar menilai kebijakan itu berisiko bila tidak diikuti pembenahan data, kesiapan infrastruktur, dan opsi verifikasi alternatif.
Pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, menyebut pengalaman pahit kebocoran data kependudukan pada 2023 sekitar 337 juta data kependudukan diduga dijual di forum daring menjadi peringatan serius.
Data kependudukan Dukcapil yang bocor mencakup nama, NIK, nomor KK, alamat, hingga data akta lahir dan nikah jutaan warga.
“Kasus Dukcapil harus menjadi pelajaran. Jika sistem baru ini dibobol, dampaknya akan jauh lebih luas karena akan mengaitkan biometrik wajah dengan layanan komunikasi,” kata Alfons Tanujaya, di Jakarta, Senin (22/12/2025).
Alfons, mengingatkan kualitas foto e‑KTP yang direkam sekitar 2014 banyak yang kurang memadai. Percobaan face recognition di beberapa bank sempat gagal berkali‑kali, sehingga bukannya memudahkan justru menambah birokrasi dan inefisiensi.
“Karena saya melakukan face recognition bank dengan data foto KTP yang ada gagal berkali-kali dan bukannya memudahkan malah menambahkan birokrasi dan inefisiensi,” ujar Alfons.
Namun Ia mengakui, penggunaan face recognition untuk pendaftaran kartu SIM merupakan langkah positif menekan kejahatan siber menggunakan nomor telepon sebagai sarana utama penipuan. Tetapi hal ini kata Alfons, akan efektif bila didukung infrastruktur dan pembaruan data yang memadai.
Kekhawatiran serupa datang dari Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi.
Menurutnya, basis data biometrik nasional yang dikelola Dukcapil perlu pembenahan serius. Ada kelompok rentan lansia, penyandang disabilitas, masyarakat adat, migran yang datanya tidak terekam optimal. Selain itu, kualitas foto lama meningkatkan risiko false rejection sehingga pemilik identitas sah gagal terverifikasi karena keterbatasan sistem.
“Jika tidak diantisipasi, risiko besar adalah exclusion error, warga negara sah tidak dapat mendaftarkan kartu SIM bukan karena kesalahan pribadi, melainkan akibat keterbatasan sistem,” ujar Heru.
Ia menegaskan face recognition tidak boleh menjadi satu‑satunya mekanisme. Pemerintah harus menyediakan verifikasi manual atau offline, layanan pembaruan biometrik cepat, dan mekanisme keberatan serta eskalasi yang sederhana.
Komdigi menyatakan tujuan kebijakan ini adalah memutus rantai kejahatan digital yang menjadikan nomor seluler sebagai pintu masuk berbagai modus penipuan.
Jadwalnya mulai 1 Januari 2026 sensor biometrik akan diterapkan untuk pendaftaran kartu SIM. Fase awal bersifat sukarela dan berjalan secara hybrid hingga akhir Juni 2026. Kemudian, mulai 1 Juli 2026 registrasi pelanggan baru direncanakan wajib menggunakan face recognition.
Redaksi







