Oleh: Direktur Explor Anoa Oheo, Ashari. S.Sos
Kunjungan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Sugeng Suparwoto dan anggotanya di PT Antam di Desa Mandiodo Kecamatan Molawe di Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) memantik beragam pandangan, Kamis (24/3/2022).
Kehadiran komisi yang membidangi pertambangan itu turut dikawal langsung oleh Direktur Utama PT Antam, Nico Kanter didampingi jajaran Direksi dan Kementerian ESDM RI.
Kehadiran pejabat pusat itu mendapat sambutan hangat dari ratusan massa sebagai gelaran aksi damai mendukung keberadaan PT Antam. Secara bergantian, orator menyampaikan dukungan pada perusahaan plat merah hingga berujung audiens menyikapi problematika keberadaan PT Antam.
Aspirasi dukungan lebih menitikberatkan keterlibatan pengusaha lokal yang memang kurang menjadi perhatian sejak hadirnya perusahaan tambang di Bumi Oheo. Bahkan terbilang, anak lokal menjadi penonton terbaik di daerah sendiri.
Meskipun dimensi aktivitas pertambangan realitasnya masih jauh dari yang dipersyaratkan oleh undang-undang atau good mining practice. Bahkan nyaris semua tambang nikel yang sedang operasi di Konut tak satupun perusahaan yang bersih.
Hal demikian diatas merupakan sebuah contoh kasus yang tidak bisa ditawar. Artinya, jika mereka bisa main dari pihak pengusaha luar dengan cara seperti itu, tentu pengusaha lokal merasa cemburu dalam artian apa bedanya jika dilakukan oleh pribumi. Toh, juga hasil keuntungannya bisa dimanfaatkan dan berputar di Konut atau wilayah Sultra.
Dibandingkan dengan mereka hanya menimbun harta dan ironis hasil tambangnya dimanfaatkan euforia semata. Maka itu, keadilan dan pemerataan jauh lebih penting daripada objek hukum yang dipersoalkan di blok tambang Mandiodo.
Satu hal yang terpenting adalah bagaimana eksistensi investasi PT Antam di Konut sejak tahun 1995 sampai tahun 2022 saat ini. Bukan berarti tuntutan pemberdayaan lokal tersahuti lalu agenda perjuangan tahunan terlupakan.
Aspirasi substansial yang mesti dipertegas terkait keberadaan PT Antam yakni kepastian realisasi janji mendirikan smelter, membangun kantor PT Antam UBPN Konut dan menyelesaikan lahan masyarakat di blok Tapunopaka. Ketiga poin penting ini cukup menjadi tolak ukur akan kepastiannya guna menjamin kesejahteraan rakyat dan kontribusi terhadap pembangunan di daerah.
Jika ini belum dijawab, kira-kira aset apa yang akan ditinggalkan? Rumah warga sewaan dijadikan kantor kesannya bersiap lari tanpa pamit setelah tidak adanya tambang kelak. Sampai kapan PT Antam berkantor di rumah warga? Lahan tambangnya saja sebagai objek vital, tapi asetnya nihil. Ini perusahaan negara miskin kah?
Menjadi kekecewaan, kedatangan para elit di Konut pada lahan tambang PT Antam disayangkan sangat tertutup bahkan hampir tak tersorot media padahal media di Sultra jumlahnya ratusan.
Kunjungan kerja spesifik, itu buat apa, terbuka saja belum tentu ada hasil keputusan yang baik. Sederhananya masyarakat Konut tidak minta referendum, otsus atau lebih. Hanya 3 poin itu yang sudah bertahun-tahun kami suarakan untuk diperjelas, spesifik nya adalah rekonsiliasi termasuk renegosiasi soal keberlanjutan investasi PT Antam di Bumi Oheo.
Momentum kedatangan Komisi VII DPR RI sebagai rangkaian kunjungan kerja spesifik menjadi tanda tanya besar terkesan bukan hadir mendengar, karena murni ingin tahu keinginan masyarakat tapi adanya desakan demonstran yang keabsahan datanya belum tentu valid. Belum lagi giat yang biasanya ditunggangi atau yang punya rencana lain bersifat kepentingan.
Juga perlu kembali kita mengetahui bahwa keterbatasan dan lemahnya pengawasan di bidang hukum pertambangan dan kehutanan terkhusus wilayah Konut, kemudian dikemas menjadi temuan, data, issue sampai pelaporan oleh pihak yang punya oriented lain.
Hasilnya Pun akan kestilah “Tabrak Tembok” yang pada akhirnya transaksional. Coba jika hukum benar-benar ditegakkan, mungkin tak satupun perusahaan tambang yang akan beroperasi di Konut.
Olehnya itu permasalahan yang tiada habisnya, tidak akan pernah ada selesainya ketika bicara soal aib tambang, menghabiskan waktu, materi dan energi untuk berpikir.
Saatnya mendukung PT Antam sebagai perusahaan negara dengan catatan memberikan jawaban kepastian tiga poin yang menjadi substansial.
Artinya, jika perusahaan negara tersebut didasari kaidah pertambangan yang baik, otomatis akan menjadi panutan buat perusahaan swasta yang lain untuk kearah yang baik pula sehubungan dengan aktivitas pertambangannya.
Pesan moral kami kepada salah satu anggota komisi VII DPR RI, bung Adian Napitupulu yang juga menyempatkan hadir. Walau tidak bertemu langsung beliau, kami sebagai rakyat tinggal hidup di belantara nikel, sangat percaya konsistensinya dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Maka melalui goresan pena ini sebagai gambaran, referensi, hanya sepotong bait dibacanya, harapan itu akan menjadi tugas PT Antam bahwasannya tunaikan atau hengkang.