KENDARI, tirtamedia.id – Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) meluncurkan buku antologi puisi dari 76 penyair yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Buku itu diluncurkan tepat di Hari Ulang Tahun (HUT) ke 76 Republik Indonesia (RI), Selasa 17 Agustus 2021.
Buku berjudul “76 Penyair Membaca Indonesia” ini diterbitkan TISI sebagai komunitas para penyair, budayawan dan insan berkesenian di Indonesia. Dalam buku itu, para pelaku seni di Nusantara ingin memberikan masukan serta sumbangan saran kepada pemerintah, terkait pencapaian-pencapaian bangsa di usia ke 76 tahun dari sudut pandang para penyair.
Ketua TISI, M. Oktavianus Masheka mengungkapkan, sejak dahulu hingga saat ini dunia sastra tidak pernah mati, sebab karya sastra juga dapat berperan untuk membuka wawasan, pengetahun dan cara pandang masyarakat dalam berbagai aspek.
“TISI yang juga bergerak sebagai komunitas sastra dengan konsep ‘Ibadah Sastra’, memang mempunyai tanggungjawab dan kewajiban menjadi bagian dari sosial kontrol masyarakat. Peranan para penyair juga ikut mengisi kemerdekaan dengan berkarya dalam puisi maupun menyelenggarakan kegiatan sastra,” ucapnya.
Dalam buku itu, dua penyair asal Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni Syaifuddin Gani dan Hera Paduaee turut andil dalam penulisan buku tersebut bersama dengan puluhan pelaku seni dari berbagai daerah.
Syaifuddin Gani bercerita, keikutsertaan dirinya dalam project tersebut berawal saat salah seorang panitia dari TISI menghubunginya. Saat itu, ia diminta untuk ikut menuliskan puisi dalam buku tersebut sebagai hadiah HUT ke 76 RI.
“Makanya saya menyambut baik ide itu, karena saya merasa penyair juga harus terlibat dan merespon segala sesuatu yang terkait dengan negaranya. Khususnya terkait dengan kemerdekaan yang usianya sudah cukup dewasa,” terangnya.
Dua buah karya puisi Syaifuddin Gani berjudul “Dironda Kemerdekaan dan Kendari Hari Pertama Isolasi” turut menjadi bagian dari buku antologi 76 Penyair Membaca Indonesia.
Menurutnya, Dironda Kemerdekaan bercerita tentang kondisi bangsa Indonesia yang tengah menghadapi tantangan hoax yang semakin bertebaran.
“Apakah kita bisa merdeka dari hoax? Karena itu adalah musuh bersama kita dan kadang kita tidak tahu apakah berita ini benar atau berita hoax yang di produksi untuk melahirkan ketidakbenaran. Oleh karena itu kita harus merdeka dari hoax,” ungkapnya.
Sedangkan, Kendari Hari Pertama isolasi bercerita soal kondisi Kota Kendari di awal-awal masa pandemi Covid-19.
Dalam puisi tersebut, Syaifuddin menggambarkan kondisi kota Kendari yang sunyi dan mencekam di hari pertama penerapan PSSB. Ia melihat, Sungai Wanggu seperti menggotong kesedihan, Pasar Baru seperti menanggung beban sendiri serta warga kota yang hanya bisa berdiam diri di rumah karena teror kematian.
“Kita semua diteror Covid-19 yang tidak diketahui obatnya apa, penyebabnya seperti apa dan saat itu juga warga dibingungkan karena ada juga hoax. Katanya sengaja dibuat ada juga yang bilang ini alamiah, sehingga ketakutan akan kematian karena virus itu beriring dengan hoax di dalamnya,” jelasnya.
Meski begitu, ia memandang di balik fenomena Covid-19, juga terdapat pesan spiritual yang ditampilkan warga. Yang mana di tengah ketakutan akan Covid-19 dan kematian akibat virus tersebut, warga semakin mendekatkan diri pada Tuhan.
“Ada semacam kesadaran spiritual warga, kita akhirnya mendekat diri kepada Tuhan. Bahwa kita manusia hanya setitik debu dihadapan yang Maha Kuasa,” titahnya.
Dengan lahirnya buku antologi puisi itu, diharapkan dapat memacu semangat khalayak untuk terus berbuat demi kemajuan negeri, pun pemerintah kiranya dapat menjadi bahan masukan dalam membangun negeri menuju ranah yang lebih baik di masa mendatang.
Syaifuddin berharap, di momen HUT ke 76 RI dan lahirnya buku antologi 76 Penyair Membaca Indonesia, generasi muda di Sultra dapat membaca dan memahami sejarah panjang puisi Indonesia.
“Sebagaimana pandangan kritikus sastra Maman S. Mahayana yakni yang sudah dimulai sejak Zaman Animisme, Zaman Hindu, Zaman Islam (Abad ke-12—Abad ke-20), Zaman Suratkabar Awal (1856—1900), Zaman Kesadaran Gerakan Kebangsaan (1908—1928), dan Pasca-Sumpah Pemuda: Puisi Indonesia (1928—kini),” tutupnya.
Untuk diketahui, Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) merupakan komunitas sastra yang lahir pada tanggal 1 April 2021 dengan konsep “Ibadah Sastra”. TISI mengikrarkan diri sebagai bagian dari sosial kontrol masyarakat, dimana perananan para penyair ikut mengisi kemerdekaan dengan berkarya dalam puisi maupun menyelenggarakan kegiatan sastra lainnya, untuk menjadikan Indonesia lebih baik di masa mendatang.
Penulis: Fahmi