Jakarta, tirtamedia.id – Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM), Dhahana Putra, menyoroti tren peningkatan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di Indonesia. Kondisi ini mendorong permintaan publik agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya konflik hukum yang melibatkan anak.
Menurut Dhahana, meningkatnya kasus kejahatan serius seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak menimbulkan pertanyaan terkait efektivitas penerapan pendekatan keadilan restoratif bagi ABH. “Kita harus memastikan bahwa pendekatan ini benar-benar dapat berjalan dengan baik, terutama dalam menangani kejahatan berat yang melibatkan anak,” ujarnya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sudah mengadopsi paradigma keadilan restoratif, yang secara formal menjadi landasan sistem peradilan pidana bagi anak di Indonesia. UU ini mengutamakan proses diversi, yakni penyelesaian perkara anak di luar jalur peradilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA.
Namun, Dhahana menilai bahwa adanya pengecualian diversi bagi kasus dengan ancaman pidana di atas tujuh tahun, seperti pembunuhan dan kekerasan seksual, perlu dievaluasi. “Kita memerlukan penyesuaian dalam UU SPPA agar rehabilitasi tetap menjadi prioritas bagi anak, tetapi dengan kejelasan kapan proses hukum formal lebih tepat diterapkan,” jelasnya.
Dhahana berharap revisi UU SPPA dapat memperbaiki keadilan dalam penanganan kasus anak, baik bagi pelaku maupun korban. “Penyesuaian ini diharapkan menciptakan keseimbangan antara pemulihan bagi anak yang terlibat dalam kejahatan dan perlindungan hak-hak korban,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya memperkuat regulasi terkait keadilan restoratif dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, mengingat saat ini penerapannya tersebar dalam berbagai peraturan sektoral seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.(*)







