KENDARI, tirtamedia.id – Jurnalis Antara, La Ode Muh Deden, mengalami intimidasi di Bandara Haluoloe Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Intimidasi itu dialami Deden, saat meliput Tim KPK membawa 4 orang yang diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Kolaka Timur ke Jakarta, Jumat (8/8/2025) pagi.
Menurut Deden, intimidasi bermula saat meliput rombongan KPK masuk ke area cek in Bandara. Saat itu, Deden sempat ditegur dengan orang mengenakan rompi merah yang mengawal Tim KPK.
“Tapi saya tidak gubris tetap video mereka, itu yang tegur juga sementara sibuk karena urus itu rombongan KPK masuk ke dalam,” ujar Deden.
Beberapa menit kemudian setelah itu, Deden ke tempat parkiran mobil rombongan KPK untuk mencari informasi kemudian mampir beli roti di kawasan bandara.
Saat berjalan menuju area depan tempat cek in, Deden melihat sejumlah orang seperti mencari seseorang.
“Tiba-tiba satu dari mereka bicara sama orang bandara yang tegur saya di awal tadi mengonfirmasi “yang ini?,” langsung mereka datangi saya “kita yang ambil video di depan tadi?,” saya bilang iya,” jelas Deden.
Kemudian, orang itu menyampaikan bahwa tidak bisa melakukan perekaman video di area tempat Deden meliput rombongan KPK.
“Di situ saya cuman tanya apa alasannya dilarang, dia cuman kasih tau “itu daerah tempat pemeriksaan nda bisa ambil gambar,” kata Deden.
Kemudian sejumlah orang itu meminta handphone Deden, untuk menghapus video liputannya.
Dalam situasi itu, Deden, mengaku sangat tertekan, apalagi tiba-tiba juga didatangi banyak petugas Bandara Haluoleo.
“Saya bukami hp-ku kasih lihat mereka untuk hapus video, setelah saya hapus, orang yang tegur saya di awal itu minta rekannya untuk cek baik-baik, dia minta cek sampai tempat “baru saja dihapus”, mereka minta buka di situ dan hapus semua setelah itu mereka pergi,” ujar Deden.
Tidak lama kemudian di parkiran motor, Deden didatangi seorang petugas bandara, lalu menyampaikan bahwa mereka tidak enak hati karena yang menegurnya dari awal adalah Kepala Bandara.
“Dia bilang itu yang datangi saya “nda enak karena kepala bandara baru itu, soalnya permintaan langsung dari KPK untuk nda (tidak) ada video atau foto, jangan sampai bermasalah kasihan,” ujar Deden.
Tindakan petugas Bandara Haluoloe ini, dikecam keras oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sultra.
Menurut Ketua AJI Kota Kendari, Nursadah, upaya pembatasan dan penghapusan Video Jurnalis di Bandara Haluoleo, sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers.
“Kemerdekan pers dijamin dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujar Nursadah, melalui keterangan tertulis, Jumat (8/8/2025).
Lebih lanjut, dalam pasal 4 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, ditegaskan bahwa pertama, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Kedua. terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Sekretaris AJI Kendari, Randi Ardiansyah, menambahkan atas peristiwa tersebut AJI Kota Kendari, menuntut pihak pengelola Bandara Haluoleo dan KPK memberikan penjelasan resmi serta permintaan maaf terbuka atas tindakan tersebut.
“Informasi yang diterima AJI Kota Kendari, larangan merekam tersebut, disebut sebagai permintaan langsung dari pihak KPK agar tidak ada foto atau video keberangkatan mereka,” jelas Randi.
Sementara Ketua IJTI Sultra, Saharudin, mengatakan bahwa lokasi cek in awal pintu masuk keberangkatan bandara adalah wilayah publik, siapapun boleh mengakses dan melakukan dokumentasi termasuk jurnalis yang melakukan tugas peliputan.
“Sehingga, siapapun tidak boleh melarang, membatasi, menghapus materi dokumentasi, terutama jurnalis yang bertugas melakukan peliputan,” kata Saharudin.
Sahar menegaskan. tindakan Kepala Bandara Haluoleo Kendari, sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers.
Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi IJTI Sultra, Fadli Aksar, menambahkan upaya menghalangi, merampas, atau memaksa penghapusan materi liputan merupakan tindak pidana yang dapat dijerat Pasal 18 ayat (1) UU Pers, dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Kata Fadli, atas peristiwa tersebut, IJTI Sultra, mendesak Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura I, dan Dewan Pers untuk melakukan investigasi dan memastikan kejadian serupa tidak terulang.
“Mengingatkan seluruh pihak, termasuk aparat negara, agar menghormati kemerdekaan pers dan tidak menghalangi kerja jurnalistik dengan alasan yang tidak sah,” kata Fadli
AJI Kota Kendari, dan IJTI Sultra, mengimbau seluruh jurnalis menaati kode etik profesi dan UU Pers saat melakukan peliputan.
Redaksi